Kebablasan Mengurus Susila - Tempo.co

Aturan pidana yang disiapkan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah cenderung mengingkari semangat konstitusi. Naskah terakhir Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat delik zina dan hubungan seks sesama jenis. Selain akan sulit diterapkan, aturan ini mengabaikan hak asasi manusia dan privasi.
Dengan dalih ajaran agama dan susila, hampir semua partai politik di DPR menyetujui perluasan delik perzinaan yang diatur dalam Pasal 484 Rancangan KUHP. Intinya, hubungan seks antara laki-laki dan perempuan dapat dipidana meski keduanya sama-sama belum menikah. Ancaman hukumannya hingga lima tahun penjara.
Esensi delik zina telah berubah total dari Pasal 284 KUHP yang berlaku selama ini. Aturan lama lebih bertujuan mempertahankan kesucian pernikahan dari perselingkuhan. Pasal ini mensyaratkan adanya pengaduan dari suami atau istri yang pasangannya melakukan zina. Perkara pun masih bisa gugur bila pengaduan dicabut.
Rancangan KUHP mulai berbeda arah. Tak sekadar menjaga ikatan pernikahan, negara berperan lebih jauh: mengurus perilaku seksual dan moral masyarakat. Partai politik yang menyokong aturan itu beralasan bahwa hubungan seks di luar nikah bertentangan dengan agama dan membahayakan kesehatan. Argumen ini mengasumsikan segala urusan moral dan agama akan beres bila diserahkan kepada negara.
Betapa repot kepolisian jika aturan baru itu benar-benar diberlakukan. Polisi harus mengurusi perilaku seksual warga negara jika ada pihak yang mengadukannya. Aturan ini mudah disalahgunakan dan bisa mendorong masyarakat bertindak main hakim sendiri. Siapa pun bisa menuduh orang lain berzina. Tapi proses hukum kasus ini akan selalu kontroversial karena pembuktiannya tidak mudah.
Perluasan aturan zina jelas mengandung banyak mudarat. Delik itu juga bisa disalahgunakan penguasa untuk menghancurkan reputasi lawan politik. Aturan baru itu pun mengancam kelompok adat dan penghayat kepercayaan. Hingga kini, banyak anggota kelompok seperti itu yang telah lama berpasangan sebagai suami-istri tapi tak melalui pengesahan negara.
Aturan soal hubungan sesama jenis yang dituangkan dalam Pasal 495 Rancangan KUHP juga tak kalah kontroversial. Pasal ini memperluas delik pencabulan yang diatur dalam Pasal 292 KUHP. Selama ini, pemidanaan hanya berlaku untuk orang dewasa yang mencabuli anak-anak dengan jenis kelamin sama. Kini juga disisipkan ayat yang mengatur hubungan seks sesama orang dewasa dengan jenis kelamin sama.
Kalangan politikus berkilah pasal itu tak serta-merta akan dikenakan terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Penuntutan hanya akan dilakukan terhadap pelaku pencabulan yang menggunakan kekerasan, melanggar kesusilaan di muka umum, atau mempublikasikan pornografi.
Aturan seperti itu bakal mengundang multitafsir. Apakah dua pasangan gay yang mengunggah foto di media sosial dengan adegan sedang berpelukan bisa dipidana? Ketentuan tersebut juga janggal karena larangan perbuatan cabul tanpa mengenal orientasi seksual telah diatur dalam pasal lain. Aturan baru itu jelas melanggar prinsip antidiskriminasi atas dasar apa pun yang digariskan konstitusi.
Negara seharusnya tidak terlalu jauh mengatur soal susila dan urusan privat. Kalaupun dipaksakan, aturan seperti itu sulit menciptakan masyarakat yang lebih baik dan justru mereduksi harkat martabat manusia.



http://ift.tt/2DOFGhJ

0 Response to "Kebablasan Mengurus Susila - Tempo.co"

Post a Comment